Authentication
227x Tipe PDF Ukuran file 0.96 MB Source: sc.syekhnurjati.ac.id
BAB III KONSEP KECERDASAN MAJEMUK (MULTIPLE INTELLIGENCE) HOWARD GARDNER DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM A. Latar belakang Lahirnya Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) Pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada tahun 1905 di Perancis, Alfred Binet, bersama Theodore Simon memperkenalkan sebuah tes kecerdasan yang dikenal dengan “IQ”.127 Kecerdasan intelektual atau rasional atau pada saat itu dikenal dengan IQ pernah menjadi isu besar. IQ atau Intelligence Quotient adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis. Tujuan utama tes tersebut adalah untuk menentukan pada tingkat mana kemampuan seseorang seharusnya. Para psikolog menyusun berbagai tes untuk mengukurnya, dan tes-tes ini menjadi alat memilah manusia ke dalam berbagai tingkat kecerdasan. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, maka semakin 128 tinggi pula kecerdasannya. Tes tersebut mendapat tanggapan positif dari pemerintah Amerika Serikat, yang selanjutnya digunakan untuk mengukur kecerdasan logika seseorang. Karena satu-satunya tes kecerdasan yang ada pada waktu itu adalah tes IQ, maka tes tersebut berpengaruh tidak hanya di daratan Amerika, tetapi merambah keseluruh dunia termasuk Indonesia. 127 Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 1 128 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dala Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2001). hal. 3 70 Memang, dahulu pada tahun 1905, Alfred Binet, membuat tes IQ hanya untuk mengukur kecerdasan seseorang dari dua ranah yang masih sempit, yaitu kemampuan verbal dan matematis, kemudian merangkum dalam sebuah angka magis, yaitu IQ. Anak yang pandai menari, menggambar, bersosialisasi, dan sebagainya masih belum terdeteksi bahwa mereka juga memiliki kecerdasan. kemudian, ilmu psikologi terus berkembang sehingga lahirlah banyak teori kecerdasan yang dimunculkan oleh para ahli psikologi yang mulai meninggalkan 129 angka sebagai ukuran kecerdasan seseorang. Hampir delapan puluh tahun tes IQ ini diyakini sebagai satu-satunya tes yang hanya dapat mendeteksi keberhasilan seseorang sehingga didalam pembelajaran tes IQ menjadi alat evaluasi utama, untuk mengukur kecerdasan seseorang dan bahkan menjadi model tes untuk evaluasi tahap akhir.130 Dari perspektif sejarah peradaban Barat, terutama pada abad kegelapan (dark millennium) yang mengantarai abad klasik dan renaissance, persoalan kecerdasan ini jarang ditentang. Karena itu, tulis Gardner seperti yang dikutif oleh Agus Efendi, pada awal abad pertengahan, St. Agustine menegaskan bahwa pengarang dan penggerak utama alam semesta adalah kecerdasan. Oleh karena itu, sebab akhir alam semesta itu haruslah baiknya kecerdasan (the good of intelligence). Seluruh manusia itu mencari kearifan, dan pencarian kearifan adalah 129 Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 94 130 Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 1 71 sesuatu yang paling sempurna, paling sulit, paling berguna, dan paling dapat disepakati.131 Di Indonesia pengaruh tes IQ tidak hanya pada model tes yang berbasis pada kecerdasan IQ, tetapi pada perkembangannya seolah-olah sebagai suatu strategi dan target pembelajaran, sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan paradigma mengejar target kurikulum bagi peserta didik lebih penting dari pada penguasaan ilmu. Baru pada tahun 1983, Howard Gardner seorang psikolog dari universitas Harvard, mengkritisi terhadap kondisi teori kecerdasan IQ dan cara pengukuran hasil tes IQ tersebut. Gardner memberikan konsep baru tentang paradigma kecerdasan. Ia mengungkapkan: Sebagian pengujian kita didasarkan pada penghargaan yang tinggi pada keterampilan verbal dan matematika. Bila anda pandai dalam bahasa dan logika, tes IQ anda pasti bagus, dan anda mungkin berhasil dengan baik masuk perguruan tinggi yang bergengsi, tetapi apakah anda berhasil setelah lulus, mungkin akan tergantung pada sejauh mana anda memiliki dan menggunakan kecerdasan yang lain.132 Seperti yang diungkapkan Daniel Goleman sebagaimana yang dikutif oleh Agus Efendi, apabila ada orang yang melihat keterbatasan cara berfikir konvensional tentang kecerdasan, orang itu adalah Gardner. Gardner menunjukan bahwa masa-masa kejayaan tes IQ dimulai selama Perang Dunia I, ketika dua juta pria Amerika secara masal pertama kali dipilih melalui tes IQ. Ini mengantar kita menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut „cara berfikir IQ‟. Bahwa orang itu entah cerdas entah tidak, terlahir secara demikian; tak banyak hal yang 131 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 81 132 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, (Batam Center: Inter Aksara 2003). hal. 24 72 dapat Anda lakukan untuk mengubahnya; dan tes-tes itu dapat menunjukan 133 apakah Anda termasuk orang cerdas atu bukan. Dengan kutipan tersebut, Goleman ingin menegaskan dua hal. pertama, menegaskan bagaimana IQ kritik atasnya. Kedua, menegaskan bahwa sikap Howard Gardner, penulis Frame Of Mind (1983), itu sangat berpengaruh terhadap penolakan IQ sebagai satu-satunya kecerdasan, atau berpengaruh terhadap penolakan IQ sebagai kecerdasan monolitik yang penting untuk meraih kesuksesan hidup.134 Teori Multiple intelligence yang digagas Howard Gardner dalam perkembangannya banyak menyita perhatian masyarakat, terutama para praktisi pendidikan diseluruh dunia termasuk Indonesia. Menurut Munif Chatib setidaknya ada tiga paradigma mendasar mengapa Multiple Intelligence Howard Gardner banyak menyita perhatian masyarakat, khususnya praktisi pendidikan: 1. Kecerdasan tidak dibatasi tes formal Kecerdasan tidak mungkin di batasi oleh indikator-indikator yang ada dalam achievement test (tes Formal). Sebab kecerdasan seseorang itu selalu berkembang dinamis, tidak statis. Menurut Gardner sebagaimana yang dikutif Munif Cahatib, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang. Padahal, kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang. 133 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 136 134 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 hal. 136 73
no reviews yet
Please Login to review.