Authentication
216x Tipe PDF Ukuran file 0.19 MB Source: repository.upi.edu
BABI PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Dalam perkembangannya, sel- sel kanker ini dapat menyebar kebagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian (Yayasan Kanker Indonesia, 2008). Menurut Yayasan Kanker Indonesia (2008), di Indonesia diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru dari setiap 100.000 penduduk. Data tersebut merupakan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Kementrian Kesehatan RI. Dari kasus kanker semua usia 4,9 persen adalah kanker pada anak (Umiati dkk, 2010). Kanker yang sering ditemukan pada anak adalah leukemia. Leukemia adalah kanker yang disebabkan pertumbuhan tidak normal pada sel darah putih (leukosit), dimana sel darah putih muda tidak menjadi matang seperti seharusnya melainkan menjadi sel yang dikenal sebagai sel leukemia (Yayasan Kanker Indonesia, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Simanjorang dkk (2010) mengenai gambaran epidemiologi kasus leukemia anak di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2004-2008 diperoleh data yaitu terdapat 52 kasus leukemia anak. Adapun jumlah kasus leukemia anak di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung sejak bulan November 2012-Januari 2013 diperoleh data yaitu 58 kasus leukemia yang terdiri dari 21 orang anak usia 2-5 tahun, 21 orang anak usia 6-9 tahun, dan 16 anak usia 10-13 tahun. Dede Riska Rahmawati, 2013 Penyesuaian diri anak penderita leukimia terhadap hospitalisasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 2 Berdasarkan hasil penelitian Simanjorang dkk (2010), jenis leukemia paling banyak ditemukan pada anak adalah Leukemia Limfoblastik Akut, yaitu 26 kasus (65,4%). Jenis leukemia yang lain terdiri dari Leukemia Mieloid Akut (19,2%), Leukemia Mieloid Kronik (15,4%), dan tidak ada jenis Leukemia Limfositik Kronik (0%). Status meninggal paling banyak terdapat pada anak penderita leukemia dengan jenis Leukemia Mieloid Akut (80%). Sementara, yang statusnya masih hidup paling banyak pada jenis Leukemia Limfoblastik Akut. Adapun pengobatan pada Leukemia Akut dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Jones (Faozi, 2010), apabila anak positif menderita Leukemia Limfoblastik Akut harus dilakukan terapi perawatan yang cukup panjang (2-3 tahun). Sedangkan, pada Leukemia Mieloid Akut dilakukan kemoterapi selama 25 siklus yaitu sekitar 10 bulan. Perawatan anak dengan Leukemia Akut memerlukan satu jangka waktu yang singkat atau suatu periode kemoterapi yang intensif sehingga anak harus mengalami hospitalisasi berulang. Hospitalisasi adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Supartini, 2004). Selanjutnya Wong (2000) mengemukakan bahwa hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga. Sebagaimana yang dikemukakan Lewer (1996) bahwa hospitalisasi merupakan stressor baik bagi anak maupun keluarga yang diikuti ketidaktahuan, lingkungan yang asing serta kebiasaan yang berbeda, dan hal tersebut membuat anak dan keluarga tertekan. Stressor yang Dede Riska Rahmawati, 2013 Penyesuaian diri anak penderita leukimia terhadap hospitalisasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 3 dihadapi anak pada saat menjalani hospitalisasi misalnya, rasa nyeri karena proses perawatan atau efek dari perawatan, perpisahan dengan anggota keluarga serta teman sebaya, dan lingkungan rumah sakit yang asing. Adapun menurut Tiederman (Wanda dan Hayati, 2007) bahwa hospitalisasi adalah kondisi atau situasi yang menimbulkan rasa cemas pada anak. Selanjutnya, Hart dan Bosser (1994) menjelaskan bahwa kecemasan anak selama menjalani hospitalisasi yaitu takut terpisah dari keluarga, tinggal di rumah sakit dalam waktu yang lama dan ada sesuatu yang salah di tubuhnya. Dalam menghadapi stressor hospitalisasi, reaksi anak berbeda tergantung dari usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimiliki. Pada umumnya reaksi anak terhadap hospitalisasi adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan kontrol, perlukaan dan rasa nyeri (Supartini, 2004). Reaksi anak terhadap perpisahan adalah kecemasan karena berpisah dengan keluarga dan kelompok sosialnya. Reaksi kelemahan kontrol anak merasa takut dan khawatir serta mengalami kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan tubuh dan nyeri dengan menggigit bibir dan memegang sesuatu yang erat (Wong, 2000). Walaupun demikian, stressor yang dihadapi anak saat menjalani hospitalisasi dapat dipersepsikan secara berbeda tergantung pada penilaian kognitif setiap anak. Menurut Lazarus (Santrock, 1995), penilaian kognitif adalah interpretasi anak-anak terhadap peristiwa hidup yang berbahaya, mengancam, atau menantang, dan pemahaman mereka apakah mereka cukup mampu untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, ketika seorang Dede Riska Rahmawati, 2013 Penyesuaian diri anak penderita leukimia terhadap hospitalisasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu 4 anak yang menjalani hospitalisasi dihadapkan dengan berbagai stressor, terdapat dua kemungkinan anak mengalami stres dan anak tidak mengalami stres. Berkaitan dengan anak penderita leukemia yang menjalani hospitalisasi, peneliti terlebih dahulu telah melakukan penelitian pendahuluan terhadap salah satu anak penderita leukemia berusia 12 tahun berinisial DN yang menjalani hospitalisasi di RSUP dr Hasan Sadikin Bandung. Penelitian pendahuluan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui stressor yang dialami anak penderita leukemia yang menjalani hospitalisasi. Penelitian pendahuluan ini dilakukan dengan wawancara kepada orang tua DN. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diperoleh hasil bahwa setelah didiagnosa menderita leukemia, DN telah menjalani kemoterapi selama 10 bulan. DN harus menjalani perawatan selama 3-4 hari di rumah sakit setiap minggunya. Oleh karena itu, sejak didiagnosa Leukemia Limfoblastik Akut dan menjalani kemoterapi sekitar 9 bulan subjek tidak dapat pergi ke sekolah. Ia tidak dapat melakukan aktivitas harian yang dulu biasa dia lakukan seperti mengaji dan bermain dengan teman-teman. Selain itu, efek kemoterapi menyebabkan DN malu untuk bermain dengan teman-temannya dan memilih untuk berdiam diri di aimah. Dari wawancara tersebut ditemukan bahwa anak penderita leukemia menghadapi berbagai stressor saat menjalani hospitalisasi yaitu perubahan aktivitas harian dan pembahan fisik. Temuan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Rodriguez el al. (2011) yaitu stressor yang dihadapi anak adalah perubahan peran sehari-hari seperti tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah dan berinteraksi dengan teman dan keluarga. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti tertarik untuk menggali lebih mendalam mengenai bagaimana anak menghadapi stressor saat menjalani hospitalisasi. Stressor adalah tuntutan untuk menyesuaikan diri (Wiramihardja, Dede Riska Rahmawati, 2013 Penyesuaian diri anak penderita leukimia terhadap hospitalisasi Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
no reviews yet
Please Login to review.