Authentication
275x Tipe DOC Ukuran file 0.08 MB Source: journal.unair.ac.id
Reception Analysis Remaja Perempuan Tentang Konsep Kecantikan Dalam Iklan Kosmetika (Studi Kasus Remaja Perempuan yang berasal dari Indonesia Timur Pada Iklan Pond’s ‘2x Lebih Putih Merona’ dan Iklan Pantene ‘Tanda Tangan’) Marlyani Purbayanti (marlyn.marlyani@gmail.com) ABSTRAK Penelitian ini menjabarkan tentang penerimaan remaja permpuan dari Indonesia Timur pada konsep kecantikan yang ditayangkan pada iklan Pond’s dan Pantene. Penelitian ini menarik karena masyarakat dari Indonesia Timur jarang digambarkan pada iklan untuk produk kecantikan. Dengan menggunakan teori Stuart Hall, metode reception analysis, peneliti berharap untuk menjabarkan penerimaan penerimaan dari konsep kecantikan dalam iklan produk kosmetika melalui proses encoding dan decoding oleh audien. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kecantikan yang ditampilkan dalam iklan produk kecantikan bukanlah kenyataan yang terjadi pada masyarakat Indonesia Timur. Key words: Penerimaan, Kecantikan, Iklan, Indonesia Timur PENDAHULUAN Indonesia sebagai sebuah negara yang luas dengan berbagai macam suku, etnis, ras dan agama di dalamnya direpresentasikan secara sederhana dalam media utamanya iklan untuk menampilkan konsep kecantikan bagi perempuan (Bungin, 2008;113). Iklan di berbagai media di Indonesia wanita cantik ini direpresentasikan sebagai bahasa yang universal, yakni dengan pergeseran dari kulit langsat atau sawo matang, anggun seperti putri keraton menjadi kulit putih yang ‘berpesona’ barat dan berpemikiran bebas (dimana ia tidak perlu memikirkan sebuah tradisi yang kemudian harus dihubungkan dengan apa yang akan mereka lakukan) seperti dunia barat (Eropa dan Amerika) (Yulianto, 2007:XII). Sehingga apa yang ditampilkan oleh iklan ini nyatanya hanya mewakili sebagian kecil dari realitas masyarakat Indonesia yang memang hanya berpusat di Jawa, khususnya Jakarta. Media-media yang ada di masyarakat menyebarkan informasi tidak hanya berdasarkan fakta namun juga berdasarkan konstruksi budaya yang historis. Konstruksi tersebut secara tidak langsung telah merepresentasikan kondisi sosial masyarakat yang hanya berpatok pada struktur budaya historis dan tidak dibandingkan dengan sebenarnya. Pada akhirnya konstruksi realitas yang ditampilkan oleh media bersifat tidak adil untuk sebagian orang yang tidak terwakili dalam media karena media hanya akan mewakili suara mayoritas 1 yang dominan. Pada berbagai konsep kehidupan juga terjadi konstruksi realitas yang ada di masayrakat, yang salah satunya adalah konsep kecantikan perempuan. Pada beberapa penelitian tentang konsep kecantikan yang ada di masyarakat pada beberapa tahun belakangan ini menunjukkan hal berbeda dengan konsep literatur Jawa tentang kecantikan (Yulianto, 2007:14). Seperti diungkapkan Bungin (2007: 221) bahwa kecantikan direpresentasikan dalam rupa kulit whiteness (menjadi putih), rambut hitam, tebal dan lurus, bertubuh slim, memiliki kesegaran tubuh, adanya kebersihan, kemewahan, keanggunan dan berparas menawan. Sementara itu, Prabasmoro (2003:106) dalam bukunya mengungkapkan bahwa kecantikan dinaturalisasikan dengan warna kulit putih. Berbagai konsep kecantikan yang ada inilah yang kemudian di adopsi oleh media massa dalam menampilkan konsep kecantikan seperti yang ditampilkan dalam iklan. Sebagai salah satu media komunikasi, iklan menjadi salah satu alat dalam mengkomunikasikan pesan. Iklan tidak hanya terbatas pada tahap menawarkan produk namun, sampai pada taraf membujuk untuk membeli produk yang diiklankan (Jeffkins, 1996:11). Sebuah iklan yang nampak paling sederhana sekalipun, bukan tidak mengandung unsur makna tunggal saja didalamnya, namun masih terdapat unsur makna berlapis. Iklan tidak bebas nilai, sebaliknya dipenuhi berbagai kepentingan dan ideologi yang memberikan keuntungan dan kekuasaan pada pihak-pihak tertentu. Dengan potensi ini, iklan dapat hadir sebagai sebuah persoalan (Prabasmoro, 2003:80). Iklan bukan lagi hanya sekedar menjadi cermin bagi masyarakat, akan tetapi, masyarakat merupakan cermin iklan. Iklan merupakan pengkontruksi realitas yang diciptakan berdasarkan ideologi tertentu. Dengan demikian, iklan memiliki suatu bentuk “kekuasaan” dalam komunitas dalam masyarakat. Iklan berperan besar dalam menentukan kecenderungan, tren dan mode, bahkan membentuk kesadaran serta konstruksi berpikir manusia modern (Channey, 1996:8). Berbagai produk shampo dan produk pencerah kulit yang ada di Indonesia tidak sepenuhnya mewakili kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragam dan terdiri dari berbagai ras dan etnis. Masyarakat Indonesia Timur yang memiliki ciri-ciri fisik berkulit gelap dan berambut keriting, tidak direpresentasikan dalam berbagai macam produk shampo ataupun produk pemutih kulit. Produk-produk kecantikan tersebut cenderung menampilkan model wanita cantik berparas indo dan berambut lurus. (Yulianto, 2007: 36) Produk pencerah kulit seperti Pond’s dan produk shampoo Pantene yang merupakan peraih Top Brand 20111 dalam kategorinya masing-masing telah menjadi produk yang diminati oleh banyak penduduk Indonesia. Selain itu, dalam Majalah Swa edisi Juli 2011 1 http://www.topbrand-award.com/top-brand-survey/survey-result/top-brand-result-2011/ 2 memuat artikel bahwa Pond’s sebagai produk pencerah kulit telah mencapai market share 50% di Indonesia dengan teknik mereka yang tidak hanya pada media elektroni namun juga pada berbagai media print-ad dan juga below the line. Selain itu, Pantene sebagai produk shampoo dalam Majalah Swa edisi Juli 2011 juga mencantumkan artikel bahwa Pantene juga sama seperti Pond’s melakukan genjatan pada periklanan mereka sehingga telah mencapai 54,7% brand value di masyarakat. Teori Stuart Hall (1972) tentang encoding / decoding mendorong terjadinya interpreaasi-interpretasi beragam dari teks-teks media selama proses produksi dan penerimaan (resepsi). Dengan kata lain, Hall menyatakan bahwa makna tidak pernah pasti. Jika kita bisa pasti oleh representasi, maka tidak akan ada pertukaran sehingga tidak ada strategi-strategi yang mengkonter atau intrepetasi - intrepetasi yang berbeda. Dengan intrepetasi yang berbeda-beda inilah kemudian mengambil topik penelitian reception analisis. Dan remaja yang dalam hal pemikirannya masih labil, menjadi subjek penelitian ini. Sebagai, salah satu kota besar di Indonesia, Surabaya juga memiliki realitas sosial sendiri yang ada di masyarakatnya. Sehingga dalam fenomena inilah yang kemudian menarik peneliti untuk melakukan penelitian terhadap penerimaan remaja dari Indonesia Timur di Surabaya terhadap konsep kecantikan yang ditampilkan dalam berbagai iklan pemutih dan iklan shampo. Pertanyaan penelitian ini adalah “Bagaimana penerimaan khalayak remaja perempuan yang berasal dari Indonesia Timur terhadap konsep kecantikan yang ditampilkan dalam iklan produk pemutih wajah Pond’s ‘2x lebih putih merona’ dan iklan shampo Pantene ‘tanda tangan’?” Hegemoni Media dalam Iklan Televisi Kemudahan untuk mengakses segala informasi ini kemudian akan direspon berbeda oleh berbagai macam masyarakat. Hal ini tentu saja juga akan mempengaruhi pola konsumsi manusia. Berbagai aspek dalam media massa seperti dalam industri pertelevisian, perfilman hingga periklanan tentunya juga akan terpengaruh dengan adanya arus globalisasi.2 Arus globalisasi yang ada kemudian juga akan mempengaruhi budaya yang ada di masyarakat. Seiring dengan cepatnya arus informasi, maka budaya asli yang ada akan semakin tersingkir dengan budaya baru yang dibawa lebih cepat ke dalam negeri sendiri dengan kecanggihan berbagai media komunikasi yang ada. Budaya asli yang bermacam- macam akhirnya semakin lama semakin terkikis dengan kehadiran budaya baru yang dibawa 2 http://neetatakky.blogspot.com/2011/07/hegemoni-media-terhadap-dominasi-global.html 3 masuk oleh dominasi budaya luar melalui globalisasi. Sehingga budaya asli yang ada secara tidak langsung telah terhegemoni oleh budaya asing3. Hegemoni ini tentu saja tidak hanya terjadi dalam sekup budaya saja, namun juga akan terlihat dalam sekup yang lebih luas seperti dalam dunia industri. Sehingga pada akhirnya industri yang ada di masyarakatpun akan terpengaruh dengan hegemoni dari kelas sosial tertentu yang telah menyebar ke seluruh aspek. Hegemoni yang ada dalam industri baik perfilman, pertelevisian dan periklanan tidak lain akan terpengaruh dari arus globalisasi, Sehingga nantinya akan berpengaruh pada proses dan hasil dari industri tersebut. Peran negara adidaya seperti Inggris, AS, dan Jepang ini turut serta mempengaruhi industri media tersebut. Pengaruh dalam industri media massa ini tidak hanya dalam rangka kecanggihan teknologinya saja, namun hegemoni terjadi hingga bagian yang lebih spesifik yakni aktor dan aktris yang berperan dalam industri media massa. Sehingga yang terjadi dalam masyarakat adalah konteks sosial yang berbeda dari masyarakat karena konsep kesempurnaan yang diyakini oleh masyarakat juga berubah dalam media massa tersebut. Iklan memang tidak dapat mempengaruhi masyarakat untuk merubah sikapnya secara langsung, namun apa yang ada dalam Iklan mampu mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat. Iklan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang suatu kejadian atau fenomena yang dianggap penting. Pengaruh itu kemudian disaring, diseleksi, bahkan mungkin ditolak sesuai dengan faktor personal yang ada (Jeffkins, 1996:14). Menurut Garth Jowett, lebih gampang disepakati bahwa media massa “merefleksikan” masyarakat karena ia didesak oleh hakikat komersialnya untuk menyajikan isi yang tingkatannya akan menjamin kemungkinan audiens yang lebih luas (Irawanto, 1999:13). Karakteristik iklan sebagai media massa juga mampu membentuk semacam konsensus publik secara visual karena selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik. Artinya pluralitas nilai yang ada dalam masyarakat terangkum di dalamnya. Namun, Graeme Turner mengatakan bahwa iklan tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain. Iklan mengkontruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos dan ideologi-ideologi dari kebudayaannya sebagaimana cara praktik signifikansi yang khusus dari medium. Makna iklan sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekedar refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas itu, iklan 3 http://newsprabuwanayasa.blogspot.com/2011/04/hegemoni-budaya.html 4
no reviews yet
Please Login to review.