CIVIL SOCIETY DAN PARTAI POLITIK DALAM DEMOKRATISASI di INDONESIA∗ ∗∗ Aditya Perdana 1. Pendahuluan Selama 11 tahun paska runtuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, politik Indonesia telah mengalami perubahan dan dinamika sosial politik yang dramatis. Di awal masa Reformasi, euphoria kebebasan politik telah memberi celah munculnya kekuatan-kekuatan politik baru yang selama masa Orde Baru tidak dimungkinkan terjadi. Pembatasan jumlah partai politik di era Orde Baru telah berubah menjadi era 1 mulitpartai pada Pemilu 1999 dan pemilu-pemilu selanjutnya. Kekuatan organisasi masyarakat lainnya seperti LSM ataupun organisasi yang sejenis juga meningkat 2 jumlahnya secara drastis bila dibandingkan dengan masa Orde Baru. Di samping itu, perubahan kelembagaan politik setelah Reformasi juga mengalami perubahan, seperti adanya penguatan lembaga-lembaga politik (eksekutif, legislative dan yudikatif) dalam peran-perannya dan juga mekanisme procedural seperti pemilihan umum yang lebih transparan dan adil bagi semua pihak. Aspek desentralisasi juga menjadi salah satu perubahan penting dalam tatanan kehidupan social politik di Indonesia karena kekuatan dan pergeseran politik di tingkat local pun menjadi lebih dinamis. Perubahan kelembagaan dan prosedur di dalam tatanan politik telah menjadi salah satu aspek penting yang terjadi dalam masa demokratisasi di Indonesia. Namun demikian, dalam beberapa hal perubahan tersebut juga membawa dinamika yang menarik untuk diperhatikan lebih dalam, semisal yang terjadi di civil society dan juga partai politik. Kedua elemen ini dianggap oleh kalangan ilmuwan politik sebagai kekuatan yang mendorong dan mengarahkan jalannya demokratisasi di sebuah Negara. ∗ Makalah ini disampaikan pada Seminar Internasional ke-10 “Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu Legislatif 2009”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik, Salatiga – Jawa Tengah, pada tanggal 28 – 30 Juli 2009. ∗∗ Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan Peneliti Pusat Kajian Politik FISIP UI. Dapat dikontak di: aditya.perdana@ui.ac.id 1 Peserta pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik. Sedangkan pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik dan 6 partai local di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat mengakses www.kpu.go.id 2 Jumlah LSM ataupun organisasi kemasyarakatan tidak pernah jelas. Kalaupun ada terdapat peningkatan jumlah Ornop sekitar 12.000 di antara tengah tahun 1990-an. Dari sejumlah itu, hanya sekitar 10-20 persen yang bisa dikonfirmasi datanya. Lihat Yumiko Sakai, Indonesia Flexible NGOs vs Inconsistent State Control dalam Shinichi Shigetomi (ed), The State and NGOs, perspective from Asia, Singapore, ISEAS, 2002, hal.165. Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009 2 Tumbuh dan kembangnya civil society setelah Orde Baru runtuh menimbulkan sebuah harapan baru yakni munculnya sebuah kekuatan yang penting dalam mendorong gerakan pembaharuan politik di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, struktur politik yang lebih terbuka dan memberi kesempatan yang lebih luas adalah keuntungan yang dimanfaatkan oleh kelompok civil society di Indonesia. Akibatnya arena politik seperti negosiasi dan lobi dengan penguasa politik yang dulu dianggap sebagai sesuatu hal yang dihindari oleh para aktornya, menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan kembali. Maka tidaklah heran bila saat ini, beberapa aktor civil society lebih memilih bergabung dengan partai politik dan bersedia untuk dicalonkan sebagai anggota legislative dalam pemilu 2009 yang lalu. Sementara itu, keberadaan partai politik yang ada saat ini juga masih menyisakan banyak pertanyaan. Pada satu sisi, kekuatan partai politik adalah sebuah keharusan sebagai instrumen penting dalam proses-proses politik. Namun di sisi lain, perilaku para politisi dan pengurus partai yang belum menunjukkan sikap profesionalitasnya dalam hubungan dengan konstituen ataupun dalam pembuatan kebijakan adalah persoalan serius yang masih dihadapi. Bahkan citra partai politik secara keseluruhan di mata masyarakat juga tidaklah baik karena para politisinya 3 telah menodai dengan perilaku yang buruk. Dalam konteks relasi pembuatan kebijakan publik, civil society dan partai politik di Indonesia mulai terbangun hubungan yang saling menghargai, menghormati dan memahami keberadaan akan perannya dalam kehidupan politik. Meski awalnya kalangan civil society menganggap bahwa para politisi di lembaga legislatif tidak mampu menghasilkan produk perundangan yang substansial, namun belakangan kalangan civil society menyadari bahwa keterbatasan peran dan aktivitasnya dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan tidak akan berarti tanpa kehadiran partai politik yang mengisi lembaga legislatif. Sebaliknya, partai politik juga memahami bahwa salah satu tugas civil society adalah memberi masukan yang konstruktif dalam proses tersebut. Namun demikian, hubungan ini tidaklah mudah dicapai karena proses politik yang penuh negosiasi adalah penghalang utama bagi terciptanya hubungan yang kondusif. Keterbatasan ruang dan peran yang dimiliki oleh aktor civil society dalam mendesakkan agenda-agenda perubahan yang lebih berorientasi kepentingan rakyat, telah merubah pola gerakan yang diinginkan oleh para aktivis gerakan sosial. Awalnya gerakan ekstra parlemen adalah sebuah pilihan yang dilakukan oleh para aktor civil society. Namun belakangan, para aktor civil society menyadari bahwa salah satu ketidakefektifan gerakan ini dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh civil society yaitu hanya menjadi kelompok penekan bukan kelompok penentu dalam 3 Survey nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dalam kurun waktu 8-20 September 2008 mengkonfirmasi bahwa sebagian pemilih di Indonesia (42 persen) mengaku tidak ada partai yang bagus akan program-programnya. Bahkan sebanyak 63 persen responden tidak percaya bahwa partai bebas dari korupsi. Lihat www.lsi.or.id Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009 3 lembaga legislatif. Oleh karenanya, beberapa aktor civil society merasa ada kebutuhan yang mendesak untuk menjadi bagian di dalam lembaga legislatif. Artinya perubahan peran dari civil society dengan fokus sebagai penekan menjadi peran kelompok yang menentukan dalam proses kebijakan yaitu partai politik. Maka, dalam dua pemilu terakhir (2004 dan 2009), terdapat banyak nama aktor civil society yang ikut bertarung dalam pemilu legislatif nasional (DPR dan DPD) ataupun DPRD. Dalam konteks itu, para aktor civil society yang ikut serta dalam pemilu DPR dan DPRD telah berpindah menjadi aktor partai politik. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi dalam pelembagaan politik di Indonesia adalah penguatan akan lembaga-lembaga itu sendiri, terutama di kalangan civil society dan partai politik. Partai politik di Indonesia masih lemah dalam konteks penguatan kelembagaan secara internal dan juga kapasitas dalam proses pembuatan kebijakan publik. Sementara itu, civil society pun juga lemah dalam membangun kekuatan politik yang signifikan, baik di tingkat nasional ataupun di tingkat lokal. Fokus makalah ini adalah mendiskusikan kondisi civil society dan partai politik dalam era demokratisasi yang tengah dijalankan di Indonesia. Ada dua pertanyaan yang ingin diarahkan dalam makalah ini: pertama, dalam masa demokratisasi ini, peran civil society (terutama dari kalangan Organisasi Non Pemerintah) dan partai politik adalah penting. Namun demikian, relasi keduanya tidaklah semudah yang dibayangkan. Dilihat dari arena politik yaitu dalam proses pembuatan kebijakan publik dan pertarungan di dalam pilkada, bagaimana kondisi civil society dan partai politik? Kedua, bagaimana usaha pengembangan relasi yang konstruktif antara civil society dan partai politik ke depan? Dua hal inilah yang akan dibahas dalam makalah yang singkat ini. 2. Civil Society dan Partai Politik dalam Ranah teoritis Diskusi mengenai civil society terbagi dua pandangan. Ada sebagian yang berpandangan bahwa civil society memiliki keterikatan yang erat dengan Negara, 4 termasuk dalam hal ini dengan partai politik. Negara, termasuk apparatus dan kebijakannya, merupakan bagian dari konsep sebuah masyarakat politik yang dicita- citakan. Sebaliknya, civil society merupakan sebuah ranah masyarakat yang terpisah dengan ranah Negara karena dalam peran dan fungsinya yang lebih bebas dan 5 merdeka dari intervensi Negara. Civil society adalah kelompok masyarakat yang memiliki kemandirian yang tegas terhadap berbagai kepentingan akan kekuasaan. Yang tidak kalah penting dalam konsep civil society adalah adanya partisipasi aktif dari 4 Pada masa Yunani Kuno, Civil society dan negara adalah berasal dari definisi yang sama yakni koinomia politike (masyarakat politik) dimana setiap manusia dikenal sebagai zoon politikon (makhluk politik). Lihat Neera Chandhoke. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta, ISTAWA, 2001, hal.115 5 Pandangan ini diwakili oleh Hegel dimana civil society adalah momentum dimana peran transisi dari keluarga menjadi organisasi sosial dan nantinya berujung pada terbentuknya negara. Ibid, hal.176 Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009 4 semua warga negara baik yang tergabung dalam berbagai perkumpulan, organisasi atau kelompok lainnya sehingga akan membentuk karakter demokratis di lembaga tersebut.6 Sementara itu, konsep partai politik sebagai sebuah kelompok atau organisasi di dalam masyarakat berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam civil society. Menurut Sartori yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, definisi partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan 7 umum itu mampu menempatkan calon-calonmnya untuk menduduki jabatan publik . Dalam pengertian itulah maka partai politik berbeda dengan civil society terutama dalam aspek usaha meraih kekuasaan politik melalui jalur pemilihan umum. Meski keduanya juga memiliki kesamaan dalam usaha untuk berkontribusi terhadap kepentingan publik. Dalam konteks kebijakan, partai politik memiliki fungsi untuk mengagregasikan atau merepresentasikan berbagai macam kepentingan dan menegosiasikan semua kepentingan tersebut menjadi sebuah kebijakan negara. Sebaliknya, civil society berperan untuk menuntut dan mengkritik terhadap kebijakan pemerintah, namun sayangnya kelompok ini tidak bisa mengimplementasikan kritik 8 tersebut dalam hal yang kongkrit. relasi ini sebenarnya terbangun dalam membangun kepentingan akan lahirnya sebuah kebijakan publik. Sementara itu, dalam konteks yang lebih mikro, relasi para aktor civil society dan para politisi terlihat dalam berbagai kerjasama. Para politisi di DPR, misalkan, mendukung apa yang disampaikan oleh civil society mengenai satu isu tertentu. Dalam kesempatan yang berbeda, para aktor civil society juga mendorong partai politik untuk lebih terbuka, transparan dan membuka komunikasi yang intensif dengan berbagai kelompok masyarakat, terutama di daerah pemilihannya. Di belahan benua Eropa, partai politik juga mengalami situasi yang tidak menguntungkan yakni ketidakpercayaan ataupun alieanasi dari publik. Salah satu penyebabnya adalah makin melemahnya ikatan antara konstituen dengan partai politik, termasuk salah satunya adalah ikatan keagamaan ataupun kekeluargaan di dalam partai. Yang menarik adalah menguatnya isu-isu sosial kemasyarakatan di kalangan masyarakat yang kemudian mengikat kelompok-kelompok tersebut menjadi sebuah kepentingan bersama yang diperjuangkan. Dalam perjalanannya, kelompok ini dimungkinkan untuk menjelma sebagai partai politik seperti partai-partai Hijau di 9 beberapa negara Eropa. Indikasi melemahnya partai politik dan menguatnya civil society juga ditemukan di Amerika Latin ataupun beberapa negara Asia, manakala civil society telah berkontribusi untuk memberi bantuan yang memadai bagi pengembangan dan 6 Cohen, Jean L. Dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory, dalam Hodgkinson, Virginia A. dan Michael W.Foley (ed.). The Civil Society Reader. University Press of New England, 2003 7 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 404 8 Gwendolyn Bevis, Civil Society Groups and Political parties: supporting constructive relationships, Occasional Papers Series, USAID, 2004, hal. 7 9 Ibid hal. 8 Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
no reviews yet
Please Login to review.